Minggu, Oktober 26, 2008

Tokoh

Hassan Hanafi
Tokoh Pemikir Muslim Modernis

Hassan Hanafi terlahir dari keluarga musisi pada tanggal 13 Pebruari 1935 di Kairo. Dia adalah seorang pemikir muslim modernis yang akrab dengan simbol-simbol pembaruan dan revolusioner, seperti Kiri Islam, oksidentalisme, dan lain sebagainya. Tema-tema tersebut ia kemas dalam rangkaian proyek besar; pembaruan pemikiran Islam, dan upaya membangkitkan umat dari ketertinggalan dan kolonialisme modern.
Hanafi kecil, layaknya orang Mesir lainnya, mendapatkan pendidikan agama yang cukup. Pendidikan Hassan Hanafi diawali pada tahun 1948. Pada usia itu, ia telah memiliki sikap patriotik dan nasionalisme tinggi. Sebab sejak kecil ia telah berhadapan dengan berbagai kenyataan hidup, penjajahan, dominasi pengaruh bangsa asing dan problem persatuan dan perpecahan di Negaranya. Pendidikannya dilanjutkan kejenjang Tsanawiyah Khalil Agha Kairo pada tahun 1951 yang ia selesaikan selama empat tahun. Pada saat itu hanafi bersama-sama dengan para mahasiswa mengabdikan diri untuk membantu gerakan revolusi yang telah dimulai pada akhir tahun 1940‑an hingga revolusi itu meletus pada tahun 1952 guna memerangi tentara inggris yang dengan kejinya membantai para syuhada di Terusan Suez. Pada tahun ini pula ia tertarik untuk masuk ke dalam organisasi Ikhwanul Muslimin dan Organisasi Muda Mesir. Akan tetapi, di tubuh ketiga organisasi tersebut terjadi perdebatan yang mengakibatkan ketidakpuasannya atas cara ber­pikir kalangan muda Islam yang terkotak‑kotak. Sehingga ia memutuskan untuk beralih konsentrasi untuk mendalami pemikiran-pemikiran keagamaan, revolusi, dan perubahan sosial. yang menyebabkan ia tertarik pada pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb, seperti tentang prinsip-prinsip keadilan sosial dalam Islam. Selanjutnya, Ia meraih gelar Sarjana Muda bidang filsafat di Universitas Kairo pada tahun 1956. Kemudian, gelar Doktor diperolehnya dari Universitas Sorbonne Paris dengan disertasi berjudul "L Exegeses de la Phenomenologie Letat actuel de la Methode Phenomenologie et son Application an Phenomene Religieux". Pada 1961, disertasi ini memperoleh penghargaan sebagai karya tulis terbaik di Mesir.
Di dunia akademik, Hassan Hanafi aktif memberikan kuliah seperti di Perancis (1969), Belgia (1970), Temple University Philadelphia Amerika Serikat (1971-1975), Universitas Kuwait (1979), Universitas Fez Maroko ( 1982-1984), menjadi Guru Besar tamu di Tokyo ( 1984-1985), dan di Persatuan Emirat Arab (1985). Kemudian, ia diangkat menjadi Penasehat Program pada Universitas PBB di Jepang (1985-1987), dan sekembalinya dari Jepang pada tahun 1988 Hassan Hanafi dipercaya untuk menjadi Ketua Jurusan Filsafat di Universitas Kairo. Sebagai pemikir modernis, gagasan Hanafi terfokus pada perlunya pembaruan rekonstruksi Islam yang ia kemas dalam konsep besar Turats wa Tajdid (Turats dan Pembaruan), dan Al Yasar Al Islami (Kiri Islam) yang ia cetuskan pada 1981. Konsep itu merupakan kepanjangan dari gagasan Al Urwatul Wutsqo-nya Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh. Menurutnya, penggunaan nama 'kiri' sangat penting karena dalam citra akademik, kata tersebut berkonotasi perlawanan dan kritisisme. Menurutnya, Kiri Islam adalah hasil nyata dari Revolusi Islam Iran yang merupakan salah satu respon Islam terhadap Barat. Hanafi berpendapat Kiri Islam merupakan resultan dari gerakan-gerakan kaum muslimin di Afghanistan, Melayu, Filipina, Pakistan, dan Revolusi Aljazair untuk memunculkan Islam sebagai khazanah nasional. Umat Islam di negeri tersebut ingin memelihara otentisitas dan kreativitas dalam memperjuangkan kepentingan mereka, serta menggerakkan umat islam di tempat lain. Esensi Kiri Islam, adalah pencurahan segala potensi untuk menghadapi puncak problematika zaman ini, berupa: imperialisme, zionisme, dan kapitalisme yang merupakan ancaman eksternal, serta kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan sebagai ancaman internal. Hassan Hanafi banyak menyerap pengetahuan Barat dan mengkonsentrasikan diri pada kajian pemikir Barat pra-modern dan modern. Karena itu, meskipun ia menolak dan mengkritik Barat, sebagaimana dikatakan Kazuo Shimogaki, ide-ide liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme dan pencerahan telah banyak mempengaruhinya. Sehingga, Shimogaki mengkategorikan Hassan Hanafi sebagai seorang pemikir modernis liberal. Karakteristik lain pemikiran-pemikiran Hassan Hanafi pada dasawarsa 1960-an banyak dipengaruhi oleh paham-paham dunia yang berkembang di Mesir, yaitu nasionalistik, sosialistik dan populistik, yang juga dirumuskan sebagai ideologi pan-Arabik. Baru pada akhir dasawarsa itu, Hanafi mulai berbicara tentang keharusan Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dan berdimensi pembebasan (at-taharrur, liberation). Ia mensyaratkan fungsi pembebasan, jika diinginkan Islam dapat membawa masyarakat pada kebebasan dan keadilan, khususnya keadilan sosial sebagai ukuran utamanya. Struktur yang populistik adalah manifestasi kehidupannya dan kebutuhan kerangka pemikiran sebagai resep utamanya. Menurutnya, rekonstruksi dilakukan hanya dengan meletakkan warisan dan tradisi klasik dalam standar modernisme. Jika sudah tidak cocok, tradisi tersebut harus diubah. Atau menurutnya harus ada penafsiran ulang terhadap sumber-sumber asal di mana tradisi tersebut terbentuk. Dengan upaya ini, Hanafi yakin umat Islam akan mampu menghadapi tantangan berat, yakni bagaimana umat Islam memecahkan masalah kesenjangan sosial, ketidakadilan, kebodohan, pengekangan kebebasan berekspresi, dan ketertindasan rakyat. Dunia Islam, menurutnya, ditandai oleh disparitas kaya-miskin dan penindasan kebebasan. Kondisi tersebut harus diubah. Yang terjadi selama ini adalah hidupnya al-turath (tradisi), yang merupakan akumulasi penafsiran yang diberikan berbagai generasi dalam menjawab tantangan zamannya, justru menguatkan ketidakadilan tersebut. Tradisi macam inilah yang ia sebut sebagai 'kanan Islam'. Dalam menghadapi hegemoni Barat, Hanafi merumuskan paradigma pikir yang ia sebut oksidentalisme--cara memandang Barat-- sebagai anti-tesa orientaslime Barat. Untuk ini, ia menulis buku khusus berjudul Muqaddimah fi 'Ilmi Istighrab, yang telah di-Indonesiakan dengan judul: Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat. Ia mengajak umat Islam mengkritisi hegemoni kultural, politik, dan ekonomi Barat, yang dikemas di balik kajian orientalisme. Hanafi yakin orientalisme sama saja dengan imperialisme, seperti kepopuleran imperalisme kultural yang digelar Barat melalui media informasi dengan mempropagandakan Barat sebagai pusat kebudayaan kosmopolitan. Bahkan, orientalisme dijadikan kedok belaka untuk melancarkan ekspansi kolonialisme Barat (Eropa) terhadap dunia Timur (Islam). Hanafi berpendapat, oksidentalisme hanya ingin menuntut pembebasan diri dari cengkeraman kolonialisme orientalis bukan merebut kekuasaan orientalisme. Menurutnya, ego oksidentalisme lebih bersih, objektif, dan netral dibandingkan dengan ego orientalisme. Oksidentalisme sekadar menuntut keseimbangan dalam kebudayaan, kekuatan, yang selama ini memposisikan Barat sebagai pusat yang dominan. Dengan oksidentalisme, Hanafi berniat mengakhiri dan sekaligus meruntuhkan mitos Barat yang dianggap sebagai satu-satunya representasi (kekuatan) dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda mengisi comment di sini...