Sabtu, Januari 01, 2011

Tangisnya Membuatku Iba

Pagi itu seperti biasa saya membuka jendela pagi, menyapa gagah dan dermawannya sang matahari yang tiada hentinya menerangi hari, rintik hujan tak menghalangi sinarnya, membuat pagi semakin sejuk. 

Hari itu berjalan seperti biasa. Saya kembali melangkahkan kaki menuju sebuah tempat yang mempertemukan saya dengan wajah-wajah lugu yang menanti siraman cahaya, cahaya untuk membuka jendela dunia. Disana terlihat ada semangat, cita-cita dan harapan. Begitu indah dan menyentuh. Namun diantara wajah-wajah itu ada satu wajah yang menutupi ketiga hal indah itu dengan kegalauan dan penat. saya mencoba untuk mengungkap apa yang disembunyikannya, saya belai kerudung kecilnya, dia menatap saya dengan tatapan penuh iba membuat saya ingin segera meraih jemari mungilnya. berharap dapat sedikit mengurangi luka yang ia simpan. "Ibu guru, besok aku tidak bisa lagi melihat ibu" ucapnya dengan linangan air mata. 



Segera saya peluk tubuhnya yang gemetar. "kenapa kamu berkata demikian nak?" tanya saya padanya. "orang tuaku bercerai bu, aku dan ibu akan pindah ke rumah nenek di kampung" jawabnya dengan isak. Saya melihat luka memar diwajahnya, saya tanyakan hal itu, namun tangisnya semakin menjadi.


Miris rasanya mendengar penuturannya. Kadang hidup memang kejam, anak seusianya harus menerima kenyataan pahit seperti itu., kehilangan sosok ayah dalam  hidupnya. Entah bagaimana nasibnya saat ini, apakah anak itu masih melanjutkan sekolahnya atau tidak. Penghianatan atas suatu hubungan telah menelantarkannya dan memisahkan saya dengannya. Pelajaran yang amat penting bagi setiap orang tua. Jangan jadikan anak sebagai korban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda mengisi comment di sini...