Pagi itu seperti biasa saya membuka jendela pagi, menyapa gagah dan dermawannya sang matahari yang tiada hentinya menerangi hari, rintik hujan tak menghalangi sinarnya, membuat pagi semakin sejuk.
Hari itu berjalan seperti biasa. Saya kembali melangkahkan kaki menuju sebuah tempat yang mempertemukan saya dengan wajah-wajah lugu yang menanti siraman cahaya, cahaya untuk membuka jendela dunia. Disana terlihat ada semangat, cita-cita dan harapan. Begitu indah dan menyentuh. Namun diantara wajah-wajah itu ada satu wajah yang menutupi ketiga hal indah itu dengan kegalauan dan penat. saya mencoba untuk mengungkap apa yang disembunyikannya, saya belai kerudung kecilnya, dia menatap saya dengan tatapan penuh iba membuat saya ingin segera meraih jemari mungilnya. berharap dapat sedikit mengurangi luka yang ia simpan. "Ibu guru, besok aku tidak bisa lagi melihat ibu" ucapnya dengan linangan air mata.
Hari itu berjalan seperti biasa. Saya kembali melangkahkan kaki menuju sebuah tempat yang mempertemukan saya dengan wajah-wajah lugu yang menanti siraman cahaya, cahaya untuk membuka jendela dunia. Disana terlihat ada semangat, cita-cita dan harapan. Begitu indah dan menyentuh. Namun diantara wajah-wajah itu ada satu wajah yang menutupi ketiga hal indah itu dengan kegalauan dan penat. saya mencoba untuk mengungkap apa yang disembunyikannya, saya belai kerudung kecilnya, dia menatap saya dengan tatapan penuh iba membuat saya ingin segera meraih jemari mungilnya. berharap dapat sedikit mengurangi luka yang ia simpan. "Ibu guru, besok aku tidak bisa lagi melihat ibu" ucapnya dengan linangan air mata.