Sudut itu berupa putih dikelilingi cermin yang tersengat mentari, seperti lintasan purnama. Saat itu yang kutanyakan bukan tentang hitam, tapi luka yang tak terbaca oleh sunggingan senyum paksa bersama hujan. Kau tahu di mana Syurga?, kau ingat saat itu kita bersama-sama menerjemahkannya menurut pemahaman kita masing-masing, di tengah debur ombak yang membelai jilbab pich dan violet yang kita kenakan.
Boleh kutanya tentang tulisan kaca yang kau buat? Saat putih memadu di kelopak kuntum tulip yang tersusun rapi di meja marmer. Kini, saat kau ketuk kembali iramanya membuncah seperti pecahan gelas yang kembali terlempar. Kau seperti menghilang. Aku lupa, untuk siapa senyum ini. Lorong moksa ada di hadapan kita, kawan. Gumpalan mungkin sopan mengaduh, mencinta damai.
*Putih mulai mengebiri hitam. Ya, warna yang paling aku cinta. Warna yang tak pernah sanggup investasi apapun. Tak ada yang meracuni warna hitam. Jika pun ada, justru lebur bersamanya. Namun, ketika putih hadir, keduanya tegas memberi tahu identitasnya masing-masing.
Putih dan tulip telah menerjemah persahabatan kita. Semoga maknanya takkan luntur.
Boleh kutanya tentang tulisan kaca yang kau buat? Saat putih memadu di kelopak kuntum tulip yang tersusun rapi di meja marmer. Kini, saat kau ketuk kembali iramanya membuncah seperti pecahan gelas yang kembali terlempar. Kau seperti menghilang. Aku lupa, untuk siapa senyum ini. Lorong moksa ada di hadapan kita, kawan. Gumpalan mungkin sopan mengaduh, mencinta damai.
*Putih mulai mengebiri hitam. Ya, warna yang paling aku cinta. Warna yang tak pernah sanggup investasi apapun. Tak ada yang meracuni warna hitam. Jika pun ada, justru lebur bersamanya. Namun, ketika putih hadir, keduanya tegas memberi tahu identitasnya masing-masing.
Putih dan tulip telah menerjemah persahabatan kita. Semoga maknanya takkan luntur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda mengisi comment di sini...